Akhir-akhir ini dunia maya sedang dihebohkan dengan narasi Islamophobia. Salah seorang politisi Senayan seringkali bercuit (tweet) tentang Islamphobia dan anti Islam yang disematkan pada pemerintahan Joko Widodo. Narasi tentang Islamophobia kemudian terus diproduksi seolah-olah umat Islam di Indonesia berada dalam ancaman besar. Lalu muncul pertanyaan, apakah benar demikian? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islamophobia dan anti Islam?

Guna menjawab pertanyaan di atas, kita perlu merunut terlebih dahulu sejarah kemunculan Islamophobia di Barat. Karena memang, tidak bisa dipungkiri bahwa asal-usul istilah tersebut memang muncul seiring dengan berkembangnya Islam di belahan dunia Barat.

Dalam buku berjudul Islamophobia/Islamophilia: Beyond the Politics of enemy and Friends,Andrew Shryock mencatat bahwa istilah Islamophobia pertama kali muncul di tahun 1997 dalam laporan berita the Runnymede Trust, sebuah kanal berita Inggris, dengan judul Islamophobia: a Challenge for Us All. Berita tersebut menyoroti masalah sentimen anti-Islam di Inggris yang ketika itu posisi penduduk Muslim adalah konstituen politik yang cukup kuat.

Sejak saat itu warga Muslim minoritas yang tinggal di Eropa dan Amerika mulai aktif membendung gerakan anti-rasisme dan anti-Islam. Sayangnya, peristiwa 9/11 yang terjadi pada tahun 2001 menyebabkan gelombang Islamophobia semakin menguat. Bentuk nyata dari hal ini adalah aksi-aksi vandalisme yang diarahkan pada simbol-simbol Islam terutama masjid, gerakan protes di jalanan, dan bahkan individu Muslim menjadi korban bullying dan penyerangan fisik.

Gambaran media Barat tentang Islam dan dunia Arab yang melulu seputar peperangan turut memperparah keadaan. Tokoh-tokoh konservatif sayap kanan seperti Daniel Pipes, menurut Andrew Shyrock, juga turut andil dalam mendefinisikan Islam sebagai agama yang gemar melakukan kekerasan. Contoh yang paling kentara dari peristiwa politik adalah pertentangan antara Donald Trump dan Hilary Clinton dalam melihat Islamophobia di Amerika.

Dalam video rekaman ABC news yang menyiarkan debat kandidat Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menyindir Clinton yang enggan menyebut Islam sebagai radikal dan teror. Bagi Trump, Muslim Amerika harus didata dan melapor secara berkala agar negara dapat memantau gerakan Islam radikal. Akan tetapi Clinton menegaskan bahwa visinya terhadap Muslim Amerika adalah setara dengan penduduk lain dan tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap penduduk Muslim. Kenyataan yang digambarkan oleh Clinton dan Trump adalah bentuk konkret bahwa respons terhadap Islam di Barat tidaklah monolitik. Oleh karenanya, kita tidak bisa pula menggeneralisasi Amerika jahat terhadap Islam.

Atas dasar catatan berita 1997 dan realitas pasca peristiwa 9/11 bisa kita definisikan bahwa Islamophobia adalah bentuk ketakutan terhadap komunitas Muslim dengan cara melakukan aksi diskriminatif dan represi.

Lalu tepatkah anti-Islam disematkan dalam konteks Indonesia? Jawabannya menurut penulis adalah tidak tepat. Hal ini tampak dalam keseharian kita di Indonesia bahwa semua elemen masyarakat dapat hidup dengan baik dan saling menghargai satu sama lain. Terlebih bagi penduduk Muslim, mereka dapat berkegiatan dengan bebas tanpa ada kendala suatu apa pun. Bahkan kita tidak bisa pungkiri bahwa Kementerian Agama sebagian besar mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan umat Islam, mulai dari urusan pendidikan hingga urusan haji.

Dengan demikian, penggunaan istilah Islamophobia dan anti-Islam bisa dikatakan sebagai pilihan yang kurang tepat dan kurang bijak. Tidak saja dapat memancing konflik antara umat Islam, akan tetapi juga dapat menyebabkan disintegrasi bangsa. Demokrasi yang sedang terus dibangun di Indonesia menuntut kita agar semakin dewasa dalam melihat perbedaan, khususnya perbedaan pandangan politik.

Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menekuni studi tafsir, dan peraih beasiswa LPDP



from MUSLIM SEJATI https://ift.tt/2pcIpb6
via Media Muslim